Selasa, 09 Juni 2009

BEM STAINU KEBUMEN SERUKAN TRITURA


Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei diperingati puluhan mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Kebumen dengan melakukan unjuk rasa. Mereka menolak segala bentuk komersialisasi pendidikan dan pungutan liar di sekolah yang memberatkan orangtua siswa. Aksi damai yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAINU digelar di Bundaran Tugu Walet, Kebumen, Sabtu (2/5). Puluhan mahasiswa yang berorasi di sekitaran tugu membuat arus lalulintas agak tersendat. Puluhan aparat Polantas diterjunkan untuk mengatur arus lalu lintas di tempat tersebut.

Puluhan mahasiswa sekitar pukul 10.00 WIB berkumpul di tugu ikon Kota Kebumen. Mereka menyampaikan orasi secara bergantian dan membentangkan spanduk yang berisi tiga tuntutan rakyat (tritura), yakni Stop Segala Bentuk Komersialisasi Pendidikan dan Pungutan Liar di Sekolah, Hentikan Segala Bentuk Dikotomi Pendidikan, Pertegas Visi dan Arah Pendidikan Nasional.

Koordinator Aksi Miftakhudin mengatakan, aksi damai itu bentuk keprihatinan mahasiswa terhadap carut marut pendidikan yang terus berkepanjangan. ’’Itu karena pemerintah telah melakukan komersialisasi pendidikan. Kami menuntut, stop komersialisasi pendidikan dan segala bentuk pungutan liar di sekolah segera!" tandasnya. Salah satu bentuk komersialisasi pendidikan yakni dengan adanya program sekolah berstandar internasional (SBI) yang mengacu kurikulum Cambridge Inggris atau International Baccalaueate (BI) dengan pengantar Bahasa Inggris. ’’Model pendidikan itu jelas mengikis jati diri bangsa ini. Bagaimana masa depan bangsa kita jika anak-anak dididik dengan dengan kurikulum dan pola pikir bangsa lain," tegasnya.

Menurut dia, SBI hanya akan menjauhkan anak bangsa dari realitas budaya nusantara. Padahal di sisi lain, pemerintah juga menggemborkan-gemborkan sekolah gratis bagi SD dan SMP sederajat negeri dan swasta. Namun, seperti diiklankan di sejumlah media massa, SD dan SMP sekolah rintisan SBI maupun SBI ternyata tidak gratis. ’’Ini bentuk dikotomi pendidikan yang harus dihentikan. Bagaimana nasib sekolah gratis di tengah gencarnya rencana pemerintah menginternasionalkan sekolah-sekolah di Indonesia?" ujarnya setengah bertanya. Menurut Miftakh, rencana program pemerintah itu akan semakin membuat jurang pemisah antara sekolah orang miskin dan sekolah orang kaya. ’’Siswa miskin dengan ekonomi yang pas-pasan hanya bisa sekolah produk lokal sedangkan siswa kaya bisa sekolah di SBI. Jadi, sekolah gratis hanya kedok keberpihakan pemerintah terhadap wong cilik," katanya.

Dikatakannya, program SBI membuktikan pemerintah saat ini tidak mampu menyediakan, mendidik dan menjadikan anak bangsa mandiri dengan pendidikan. ’’Pertegas kembali visi dan arah pendidikan nasional," ujarnya. Terkait dengan masih banyaknya pungutan liar di sekolah yang memberatkan orangtua siswa, Miftakh meminta Pemkab Kebumen dan DPRD segera merumuskan Perda yang melarang pungutan liar di sekolah. ’’Tidak cukup hanya Perbup, diperlukan aturan yang mengikat semua elemen, yakni pemkab atau dinas dan sekolah, DPRD, dan masyarakat," tandasnya. Lebih lanjut Miftakh mengatakan, aksi damai itu digelar serentak oleh BEM Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (PTNU) se-Indonesia.

1 komentar: